KITAB ADABUL INSAN
Oleh: Sayid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al Alawi
Pasal yang Ketujuh: Adab
Mengaji Ilmu.
Bermula wajib atas tiap-tiap
mukalaf yakni akil baligh bahwa ia menuntut ilmu yang wajib yaitu ilmu sifat
dua puluh dan ilmu rukun-rukun dan ilmu halal haram lantas ia beramal amalan
yang wajib yaitu seperti sembahyang, puasa, dan qodo sembahyang jika ada
qodonya. Maka jikalau ada tempo lagi beserta ada ongkos maka hendaklah ia
belajar ilmu, maka ia belajar fikih dan ilmu halal haram dari kitab-kitab yang
kecil-kecil saja dahulu dan dia belajar pulalah seperti sorof dan nahu sekedar
yang membantu mengertikan ilmu fikih, maka jangan membaca sorof saja atau
nahu bertahun-tahun padahal tiada membaca fikih. Maka misalnya seperti masakan
yang tiada ada garamnya dan bumbunya, maka tiada tepungnya atau tiada berasnya
maka tiadalah berguna dan jangan pula membaca ilmu usul yang dalam-dalam nanti
dikhawatirkan goncang imannya dan jangan pula dipelajarkan segala masalah yang
sulit-sulit dibuat bangga (untuk bangga-bangaan,pen)
sekiranya jika tiada ada yang bisa jawab, maka kelihatanlah lebih ilmunya
daripada yang lain-lain . Maka misalnya itu seperti ayam jago jika menang
berkelahi memekarkan sayapnya, merah jenggernya, dan nyaring keruyuknya, maka
sekalian kelakuan orang yang begitu terbenci di dalam aturan ulama. Dan lagi
apakah keuntungannya di dalam yang demikian itu. Sebagai lagi jangan ia membaca
kitab-kitab yang besar maka ditakuti bahwa nanti itu kitab ke barat ia ke timur
adanya.
Pasal yang Kedelapan: Adab
Kelakuan Guru yang Mengajar
Bermula syaratnya
sekurang-kurangnya yaitu mesti ia mengerti sungguh-sungguh akan apa yang lagi
ia mengajarkan dengan pelajarannya yang dari guru yang benar ajarannya dan
syaratnya pula dengan sebagaimana pahamnya anak-anak muridnya sebegitulah ia
mengajarkan mereka maka jangan ia mengeluarkan masalah yang sulit-sulit yaitu yang
tiada dipaham oleh muridnya.
Maka bersaba-saba lah ia
sekalipun anak muridnya itu berkata haya…haya…dengan tiada paham maknanya. Maka
apalah gunanya melisankan sebanyak-banyaknya dikata oleh orang: oh guru si anu
dia punya takrir kelewat dalam hingga tafsir bismillah saja dua hari tiada
habisnya. Maka sebegitulah saja gunanya adanya. Tetapi sekalian itu bersalahan
pada aturan kelakuan ulama dan syaratnya pula bahwa jangan segera menjawab pada
suatu masalah melainkan jika telah sungguh-sungguh mengetahui akan jawabnya dan
jangan mengajarkan dengan kitab-kitab yang besar yang ia\sendiri belum mengerti
akan isinya, istimewa pula yang mendengar daripadanya dan jangan berani
mengajar tafsir Quran sebab terlalu banyak syaratnya yang suci adanya pada
ahli zaman sekarang ini di tanah jawa jua adanya.