Tampilkan postingan dengan label Adventure. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Adventure. Tampilkan semua postingan
Cukang Taneuh (Green Canyon), Pangandaran
By argimargie
Posted at Februari 22, 2016
Adventure
No comments
Green Canyon Pangandaran, Ciamis.
Ngomongin soal Green Canyon, pasti sudah gak asing lagi ditelinga
orang-orang yang suka jalan. Wisata lokal yang mendunia ini emang pantas
dijadikan salah satu destination wajib dikunjungi di Jawa Barat. Tepatnya di
daerah Pangandaran, Kota Ciamis terdapat sungai bernama Cijulang yang mengalir
ke Pantai Batukaras menembus gua stalakmit dan stalaktit luar biasa di
sepanjang tepian sungainya. Hamparan batuan cadas dari kecil sampai besar dan
juga rimbunnya pepohonan bisa ditemukan di Cukang Taneuh ini. Konon katanya
istilah Green Canyon diberikan oleh turis asing dari Perancis pada awal tahun
90an saat dia melintasi sungai Cijulang dengan perahu karet. Sedangkan bagi
warga setempat, namanya adalah Cukang Taneuh (Jembatan Tanah) dalam bahasa
Sunda.
Climb |
Awal Februari ini saya dengan teman-teman seperjuangan di kelas Teknik
Sipil berkesempatan berpetualang mengarungi derasnya aliran sungai Cijulang. Kenapa
deras? Karena sekarang ini adalah musimnya hujan dan saya sebelumnya sudah
menduga kalo airnya pasti keruh dan alirannya deras. Tadinya perkiraaan saya
itu sekedar rafting biasa menggunakan perahu karet, tapi ternyata tidak
menggunakan perahu alias body rafting.
Dan ini yang edaaaaan, seumur hidup saya belum pernah merasakan body
rafting apalagi arus airnya bisa dibilang gila begini. Begitu sampai di pos I
tempat kami berganti pakaian dengan memakai peralatan body rafting dari tim
porter, saya bergegas turun kebawah menuruni anak tangga seadanya yang ada
disana untuk sampai ke Gua Bau (titik pertama mencelupkan diri).
Depresi pertama |
Bener banget kenapa dinamakan Gua Bau (‘gua’ ya bukan ‘gua=gw’
yang bau), baru sampai didepannya aja saya sudah merasakan nyiyirnya bau kotoran
kelelawar aka kalong aka kampret,dkk. Oiya sebenernya dari atas gua saya sudah
agak merinding liat arus airnya ditambah warna keruhnya. Beda sama yang saya
lihat di internet arusnya tenang dan warnanya turquoise. Nah disitulah saya
mulai berdoa sebanyak-banyaknya yang bisa keucap dimulut sebelum meluncur
‘panik’. Terus terang aja saya ngga mau nama saya ada di halaman depan koran kota Ciamis besok paginya... naudzubillah...
Beratnya narik makhluk ini |
Adrenalin langsung berpacu begitu saya turun ke air untuk menyeberang dan naik ke bebatuan lalu harus memanjat ditambah lompat lagi ke air dari ketinggian 3 meter lebih. Kemudian melewati arus tenang lumayan lama sampai saya bisa menenangkan diri kalo ngga terjadi apa-apa barusan,,,, Haha. Tapi setelah itu kami bertemu jeram pertama dengan arus derasnya, dan kami diharuskan melalui jalur itu untuk lanjut menyusuri sungai ini. Dan kejadian ini berulang kali saya dan kawan-kawan lakuin sepanjang 3 kilometer. Kedinginan, tenggelam, kemasukan air dari hampir semua lubang.. hehe, kepleset dan masih banyak lagi, saya rasain diperjalanan yang memakan waktu empat jam itu. Niat awal yang mau lebih banyak nikmatin waktu buat lihat indahnya stalaktit, batuan dan pepohonan harus berubah waktu berada diair. Yang kepikiran dikepala cuma gimana caranya tetep bisa sampai kerumah dengan selamet met met. But after all, saya sangat menikmati berpetualang di aliran sungai Cijulang.
Arus liarnya |
Dari Jakarta bisa ambil rute ke Bandung –
Tasikmalaya – Ciamis Kota – Kota Banjar – Pangandaran.
Ciletuh Geopark : Tak Cukup Satu Hari Disini
By argimargie
Posted at Desember 30, 2015
Adventure
2 comments
Teluk Ciletuh |
Akhir tahun masehi ini ditutup dengan tercapainya satu
target perjalanan ke kawasan yang memiliki batuan tertua di pulau Jawa. Hampir
kurang lebih setahun terakhir sedikit demi sedikit mengikuti perkembangan soal
taman bumi ini lewat traveler yang memposting perjalanan mereka diblognya,
weekend kemarin kesampaian juga kesini. Yaap akhirnya saya berhasil mencapai
Ciletuh Geopark yang berada di daerah Desa Ciwaru, Tamanjaya, Sukabumi.
Berbekal peta (denah) yang dikirim oleh salah satu pengurus PAPSI (Paguyuban Alam Pakidulan
Sukabumi) lewat messenger minggu lalu dan juga GPS dari google maps saya mulai
perjalanan siang hari pukul 11.00 WIB start via Cikidang, Sukabumi. Sebelumnya
saat malam kami diharuskan mampir terlebih dahulu ke villa milik tetangga yang
berada di Cikidang, jadi kami bermalam disana. Oh iya, rencana ke Ciletuh ini
awalnya saya hanya mengajak 2-3 orang karena alasan trek/jalan menuju kesana
cukup tidak ramah sepengetahuan saya. Tapi semua berubah karena jumlah yang
berangkat menjadi 13 orang di hari terakhir dengan membawa dua mobil pribadi
hasil sewaan.
Karena belum ada satupun dari kami yang pernah ke Ciletuh,
saya membuka jalan didepan sambil lihat denah dan otak-atik maps. Perkiraan
waktu yang ditampilkan di maps Cikidang-Ciletuh sekitar tiga jam, jadi saya
yakin jam 2-3 siang sudah sampai di titik pertama, yaitu secretariat PAPSI di
dekat Balai Desa Tamanjaya. Ujian pertama datang saat kami disasarkan oleh rute
yang diberikan map, saya tersesat masih dikawasan Pelabuhan Ratu yang disana
terdapat kuil Dewi Kuan Im. Rute yang diberikan map ternyata untuk sepeda motor
dan lebih tepatnya motor trail. Alhasil kami putar arah lagi dan melanjutkan
perjalanan. Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam setengah empat sore saat
kami beristirahat sejenak di Desa Mekarjaya. Lanjut sekitar 30 menit kamipun
sampai di Sekret PAPSI dan bertemu Kang Taufik (yang saya hubungi sebelumnya),
kami bertanya-tanya soal penginapan, dll. Kemudian dia mengeluarkan buku tamu
yang kami diminta mengisinya untuk keperluan data pengunjung. Ternyata hasil
bincang-bincang kami soal penginapan yang berada di dekat pantai Palangpang itu
jaraknya masih 17 km lagi dari titik kami bertemu kang Taufik, katanya butuh
satu jam untuk mencapai homestay dibawah karena jalan yang bakal dilewati
banyak yang rusak.
Panenjoan
Inilah bukit yang jadi salah satu spot andalan kawasan ini,
letaknya hanya 500m dari sekret PAPSI dan
posisinya ada dikanan jalan. Berasal dari bahasa Sunda yaitu tenjo/nenjo
yang berarti melihat atau kalau diartikan seluruhnya menjadi “tempat melihat”. Menurut
saya ini benar-benar spektakuler karena melihat desa yang tenang dan asri dari
ketinggian dititik itu sungguh luar biasa rasanya. Dari situ kita bisa melihat
atap-atap genting rumah desa Ciwaru yang berwarna coklat kemerahan yang saling
berhimpitan, juga kelihatan pantai palangpang dan puncak darma dari kejauhan.
Disini tidak ada biaya retribusi untuk masuk, tapi hanya biaya parkir motor Rp
2000,- dan mobil Rp 5000,- yang dibayar saat kita akan keluar melewati gerbang.
Pantai Palangpang
Benar saja akses jalan Tamanjaya-Ciwaru ini banyak mengalami
kerusakan parah, dibeberapa jembatan kecil banyak yang jebol jembatannya
sehingga ditambal dengan balok-balok kayu besar untuk menutupi area yang jebol
itu. Persis saat adzan maghrib berkumandang kami tiba di penginapan yang
dimiliki oleh Pak Ade (setelah mendapat rekomendasi dari Kang Taufik) orang
asli pribumi disini. Letaknya di Jalan Cimarinjung, jika diukur perimeternya sekitar
3 kilometer ke Pantai Palangpang dan 2,5 kilometer ke Curug Cimarinjung. Penginapan
yang kami sewa terbilang murah yaitu Rp 300.000/malam, apalagi ini rumah
pribadi yang disewakan. Memiliki dua kamar dan satu kamar mandi plus ruang
tengah yang luas ditambah dapur yang sudah siap dengan peralatannya. Sebelumnya
memang saya meminta seorang guide agar bisa menemani saya dan teman-teman
selama mengelilingi objek wisata yang ada disini. Rupanya Pak Ade menunjuk adiknya
yang bernama Syarif untuk menjadi guide kami. Orangya ramah dan santun, saat
saya selesai mandi dia sudah menunggu saya di teras homestay yang kami sewa
malam itu. Sambil membawa kopi dan menghisap rokoknya dia langsung mengajak
saya dan beberapa teman ngobrol-ngobrol soal asal usul Ciletuh, yang katanya
baru benar-benar dimulai banyak pengunjung kurang lebih dua tahun terakhir. Itu
didapati setelah ramainya berita tentang empat orang peneliti dari Jerman dan
negara lain melakukan penelitian soal batuan yang muncul ke permukaan yang
terdapat di balik tiga bukit yang menutupi desa Cimarinjung berdekatan dengan
Pulau Kunti. Agar bisa menuju kesana dia memberi tahu menggunakan perahu
nelayan yang biayanya Rp 100.000,-/10 orang, biaya yang menurut saya masih bisa
dibilang murah. Tapi karena waktu yang kami punya tinggal setengah hari,
rasanya tidak mungkin saya bisa mencapai pusat batuan itu.
Jam 21.00 WIB saya memutuskan untuk keliling hingga ke
pantai bersama dua orang teman saya dan aa syarif menjadi pemandu kami. Dia
cukup kaget dimana saat saya bilang “jalan kaki aja yaa a”, karena bokong saya
sudah terasa semakin tepos akibat perjalanan naik turun gunung dan bukit selama
dimobil. Dan dia pun menyanggupi keliling berempat menuju pantai Palangpang.
Rupanya sekarang lagi musimnya “musim barat” kata aa syarif kalo ngga salah,
jadinya sampah-sampah ranting, dahan pohon sampai plastik bertebaran di pesisir
pantai.
Puncak Darma
Sesuai saran A’ Syarif untuk menikmati sunrise di Puncak
Darma diharuskan berangkat pukul 04.30 pagi, tapi karena kesiangan dan
gara-gara rebutan kamar mandi kamipun baru start jam 05.10. Berarti gagal sudah
rencana melihat matahari terbit dari puncak darma yang katanya amazing. Kami
trekking melewati sawah dengan hamparan padi dan mulai melewati jalan yang
mendaki tepat didepan gapura Curug Cimarinjung, yang rencana kami datangi
setelah turun dari puncak nanti. Jalur menuju puncak darma lumayan membuat
basah kaos yang saya pakai, ternyata untuk sampai ke puncak kita harus melewati
dua bukit yang ditengah-tengah perjalanan terdapat sebuah jembatan dan apabila
kita menengok kekanan ada sebuah curug juga bila menengok kekiri ada curug
lagi. Terlihat bertingkat-tingkat kalo dari kejauhan. Sampailah saya di puncak
darma ±500
mdpl, seperti yang terlihat di mesin pencarian apabila menuliskan keyword
tentang daerah ini. Tentang puncak sebuah bukit dimana dari situ kita bisa
melihat dengan jelas bentuk lengkung Teluk Ciletuh yang seperti tapal kuda.
Asal usulnya dinamakan puncak darma karena dulunya yang mempunyai tanah itu
namanya adalah darma sebelum berpindah tangan pemiliknya. Disini setiap
pengunjung diwajibkan membayar biaya kebersihan dari sampah-sampah hasil bawaan
pengunjung Rp 3.000,-/orang. Sambil menikmati panorama yang istimewa
disekeliling puncak ini, A’ Syarof menceritakan ada sejarah atau mungkin mitos
bahwa ada seekor kuda (semacam siluman) yang tinggal dua bukit terdekat yang
ada diseberang saya. Dan yang sudah kejadian apabila ada warga yang memelihara
kuda pasti peliharaannya itu mati, konon katanya itulah yang diceritakan A’
Syarif. Huwallahu a’lam bisshowab…
Curug Cimarinjung
Merasa cukup berada dipuncak bukit kami memutuskan untuk
turun melanjutkan trekking ke Curug Cimarinjung. Disepanjang perjalanan saat
turun kami cukup sering bertemu orang yang mengendarai sepeda motor bebek dari
yang arahnya hendak naik maupun turun, saya sendiri lumayan gak nyangka juga
karena jalan bebatuan yang tidak rata dan pada titik tertentu jalannya pun terjal
sampai diatas 45°. Sebelum memasuki area curug dibagian depan
yaitu gapura pengunjung harus membayar Rp 3.000,-/orang untuk biaya masuk dan
kami mendapat lembaran tiket yang diberi oleh seorang penjaganya. Dari kejauhan
saja suara bising air sudah terdengar nyaring apalagi sekarang bulan desember
ini sudah masuk musim hujan, pasti debit air yang turun sangat deras. Yaa curug
ini memang benar curug yang indah, dengan volume air derasnya dikelilingi
batuan-batuan cadas menambah segar suasana orang yang datang kesana. Dari jarak
20 meter pakaian saya pun sudah kuyup terkena cipratan air curug ini,
cipratannya seperti gerimis tapi deras sekali. Tak lama disini dan kamipun
harus balik lagi ke homestay untuk menyiapkan sarapan dan bersiap-siap kembali
ke Jakarta. Seandainya bukan karena waktu yang mepet mungkin saya bisa eksplore
lagi spot-spot yang luar biasa disini seperti Curug Awang, Curug Sodong, Karang
Daeu dan pastinya batuan yang ada dipermukaan tepi laut Desa Cikadal. So far,,,
saya sangat menikmati eksplorasi di kawasan geopark ini dan berencana balik
lagi tahun depan disaat ada waktu libur di weekend yang panjang. Info yang saya
terima bahwa Ciletuh Geopark akan diajukan agar menjadi Geopark yang berskala
internasional oleh Pengprov Jawa Barat, maka salah satu perbaikan akan diadakan
yaitu perbaikan jalan dari gerbang masuk yang ada di Desa Tamanjaya sampai ke
bawah area Desa Ciwaru yang katanya akan selesai dibulan Maret atau April 2016.
Untuk mencapai
Ciletuh kira-kira dibutuhkan 7-8 jam perjalanan dari Jakarta melalui rute
Jakarta-Ciawi-Cibadak-Bagbagan-Paltilu-Ciemas-Tamanjaya.
Gunung Lembu, Purwakarta : Latihan Nanjak Gunung
By argimargie
Posted at Agustus 18, 2015
Adventure
No comments
Lokasi Gunung Lembu berada di Kampung Panunggal, Desa Panyindangan,
Kecamatan Sukatani, Purwakarta, Jawa Barat. Jika kita keluar tol Purwakarta
dari Jakarta belok kanan memasuki Jalan Raya Purwakarta dan berbelok kanan lagi
di Jalan Sindangkasih. Kemudian nanti akan melewati rel kereta, disana ada
sebuah stasiun "lupa namanya" disebelah kiri jalan dan akan memasuki
Desa Panyindangan. Dari stasiun ke Kampung Panunggal kira-kira setengah jam
perjalanan dengan melewati jalan yang naik turun dan kondisi jalannya tidak
lebar.
Gunung Bongkok dari Kejauhan
Tiba di
Kampung Panunggal kami segera memarkir kendaraan di sebuah lapangan yang
dijadikan warga sebagai lahan parkiran. Istirahat sebentar lalu kami menuju pos
pelaporan yang terletak digerbang masuk Gunung Lembu. Disana kita diwajibkan
mendaftarkan nama kita dibuku untuk daftar pengunjung dan membayar biaya
kebersihan dengan sukarela. "sabaraha wae a" kata Bapak-bapak yang
menjaga pos.
|
Memulai Pendakian |
Salah Satu Trek Cukup Curam |
Menuju pos dua, perjalanan ini menurut saya yang cukup berbahaya karena
akan melewati salah satu jalur dimana hanya ada jalan sempit dan kanan kirinya
langsung jurang. Tepat disana kami bertemu dengan sepasang suami istri turis
dari Jepang bersama seorang guide dari arah yang berlawanan, disaat kami
berpapasan seorang suaminya hampir saja terpeleset ke arah jurang dititik itu.
Ada beberapa tali tambang yang dipasang oleh pengelola untuk alat pegangan baik
saat kondisi jalan menurun ataupun naik. Setelah itu tibalah kami dipos dua,
disana terdapat makam yang dianggap keramat oleh warga kemudian tidak jauh dari
situ ada semacam petilasan yang katanya petilasan dari Raden Surya Kencana anak
dari Prabu Siliwangi.
Istirahat di Puncak Batuan |
Amazing View |
Pos Pertama Gunung Lembu |
The most Epic Click |
Explore Pacitan, East Java
By argimargie
Posted at Juli 30, 2015
Adventure
No comments
Pantai Klayar |
Akibat bentroknya jadwal kerja dan kuliah yang masing-masing
dialami oleh kami, semula rencana eksplore kota kelahiran mantan Presiden SBY
yang dijadwalkan pertengahan Februari diundur menjadi akhir Mei. Bagusnya
peserta bertambah lagi empat orang yang semuanya berasal dari kelas yang sama
sedari Sekolah Menengah Kejuruan. Total 10 orang berangkat untuk melanjutkan
petualangan menyusuri jalan pesisir laut selatan. Tujuan pertama seperti biasa
yaitu stasiun Lempuyangan Jogjakarta, kami tiba pagi hari sesuai jadwal dan selesai
sarapan lekas bergegas menuju Pacitan melalui jalur Wonosari.
Memasuki Kota Pacitan |
Pada
waktu itu demam batu akik masih melanda Indonesia, dan yang saya temui ketika
mulai memasuki wilayah perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur ini tidak lain
adalah banyaknya pedagang batu akik. Mulai dari pedagang pinggir jalan sampai
kios bahkan lumayan banyak rumah-rumah pribadi disana memasang spanduk banner
bergambar batu berwarna merah, kuning dll yang khas dari alam Pacitan.
Dua
malam yang kami punya untuk menyusuri kota di pesisir selatan pulau Jawa ini
nampaknya tidak cukup karena lokasi masing-masing tempat wisata berjauhan satu
sama lain. Jadi tidak banyak tempat yang bisa didatangi, hanya beberapa tempat saja
yang kami kira jarak tempuhnya tidak terlalu memakan waktu.
Goa
Gong
Goa Gong |
Tujuan
pertama saya dan sembilan orang teman saya, goa yang terkenal karena
keindahannya merupakan yang terbaik se-Asia Tenggara. Panorama stalakmit dan
stalaktit yang ditemui didalam goa ini memang luar biasa, ditambah lagi
pemasangan lampu berwarna-warni yang menghiasi ruang dalam goa ini. Kira-kira
sekitar 250m panjang goa ini dan menghabiskan waktu sekitar 1 jam selama saya
menyusurinya. Sayangnya waktu itu sedang musim
liburan jadi pengunjung sedang membludak, suasana didalam goa pun
menjadi sesak karena masing-masing pengunjung berebut oksigen selama didalam.
Goa
Tabuhan
Tempat Mentas Gamelan |
Kalo denger berita katanya ada goa yang bisa berbunyi gamelan, ini goa nya yaitu goa Tabuhan. Tidak jauh dari goa Gong, goa ini memiliki ciri khas ketika stalakmit atau stalaktitnya dipukul akan mengeluarkan bunyi seperti salah satu alat music yang terdapat di gamelan. Kebetulan saat saya masuk pertunjukkannya sedang dimainkan, rupanya ada seorang perempuan yang menyanyi, seorang bapak yang sedang memainkan gendang dan dua orang bapak-bapak sedang mengetuk/memukul stalakmit yang ada dilangit-langit goa sambil berdiri. Jadi dari situ saya baru tahu ternyata seperti itu bunyi gamelannya. Masuk lagi ke bagian dalam goa kami tidak bisa lagi berjalan melainkan dengan berjalan jongkok mengendap-endap di bawah. Dan bagian terdalam goa ini terdapat seperti ruangan yang kata pengurus goa ini dulunya adalah tempat bertapa seorang Kyai. Entah kenapa suasananya agak sedikit berbeda ketika kami disana, jadi saya memutuskan untuk tidak berlama-lama didalam lalu keluar goa untuk menghirup udara segar dibawah pohon beringin raksasa didepan goa Tabuhan.
Bagian Depan Goa Tabuhan |
Pantai
Teleng Ria
Suasana Sore di Teleng Ria |
Sudah semakin sore akhirnya kami lanjut ke tempat dimana kami bisa tidur malam ini. Pantai Teleng Ria adalah pantai yang paling dekat dengan pusat kota Pacitan, jadi banyak orang yang datang kemari apalagi diakhir pekan. Tak pakai waktu lama kami langsung mendirikan tenda ditepi pantai saat kami tiba, hari sudah mulai gelap sore itu. Ehhmm sekilas belum ada yang luar biasa dari pantai ini, mungkin salah satunya karena banyaknya sampah yang mengotori area pantai saat saya dan teman-teman datang. Tapi yang paling penting kami bisa bermalam disini.
Bangun Pagi |
Sungai
Maron & Pantai Ngiroboyo
Diatas Perahu Nelayan |
Keadaan Tepi Sungai Maron |
Ini
adalah salah satu paket perjalanan yang mesti dilakukan ketika berada di
Pacitan. Mengarungi keindahan sisi-sisi sungai Maron dan sambil melihat
kehidupan para petani didesa itu melakukan aktivitas sehari-harinya dari kapal
nelayan. Lalu berenang dimuara air sungai jernih dipantai Ngiroboyo, karena
jika berenang di pantainya dilarang mengingat deras ombak pantainya.
Muara Sungai Maron |
Pantai Ngiroboyo |
Pantai
Klayar
Batuan Pantai Klayar |
Saya
benar-benar takjub begitu sampai di pantai Klayar. Belum pernah saya lihat batu
yang sangat besar dan menyerupai Sphinx dari Mesir ada disini di Indonesia.
Suara ombak pecah yang nyaring dibibir pantai juga menambah suasana yang
spektakuler disana. Pantai ini terbagi dua bagian, Klayar I yangberada didekat
pintu masuk dan Klayar II yang berada diujung garis pantai. Ada salah satu lagi
yang unik dari Klayar, didekat bebatuan yang menyerupai Sphinx terdapat
fenomena alam air memancur dari lubang kecil himpitan batu-batu karang dan saat
memancur keatas dibarengi dengan suara seperti orang meniup peluit.
Diatas Pasir Klayar |
Pantai
Banyutibo
Pantai Banyutibo |
Lanjut lagi ke tujuan akhir dari seri jalan-jalan ke Pacitan. Kami menuju pantai Banyutibo yang terkenal akan air terjunnya yang berair tawar dan jatuh dibibir pantai dimana langsung bertemu air laut. Saat kami kesana terlihat jelas kalau pantai ini masih belum terlalu lama dibuka, karena ada banyak bangunan setengah jadi dibagian atas pantai Banyutibo. Setelah kami berdiskusi dengan pengurus pantai setempat kami diberikan spot mendirikan tenda yang cukup menantang buat saya, ditepi tebing yang dibawahnya langsung terlihat jelas laut. Dari situ jika saya melihat laut yang ada didepan dengan jarak sekitar 500m terdapat seperti lubang didalam air, setiap ombak yang datang selalu terlihat ada air yang masuk kelubang itu. Karena ditepi tebing itu tidak ada pengunjung lain selain kami dan seorang bapak pengurus pantai yang sedang membangun kamar mandi. Pantai ini justru malah semakin mengeluarkan suasana atau semacam sensanyinya sore itu. Hening dan tenang, hanya suara angin dan ombak dari bawah yang terdengar bergemuruh dari tempat saya beristirahat. Oiya sekitar dua ratus meter dari Banyutibo terdapat satu pantai lagi yang bernama pantai Pekijingan, begitu namanya kata bapak yang sedang membangun toilet baru didekat tempat ngecamp kami. Diantara dua pantai ini terdapat jalan selebar 1,5m yang menghubungkan keduanya. Dan pada titik tertinggi jalannya saya jadikan tempat ngobrol dengan tiga orang teman saya pada malam itu, semenjak itulah titik di pantai Banyutibo ini jadi spot favorit saya kalo saja saya datang lagi kesini.
Spot Ngecamp |
Pantai
Nglambor
Pantai Nglambor |
Perjalanan
pulang kami berbeda dengan saat berangkat menuju Pacitan, ternyata ada jalan
yang lebih dekat ke pesisir pantai. Setelah menembus perbatasan Jatim-Jateng
munculah plang nama pantai Wediombo, tapi kami lanjut terus dan teman-teman
ternyata lebih memilih mampir lagi sebentar ke pantai Nglambor yang menurut
bayangan kami masih sepi seperti tujuh bulan lalu saat terakhir kesini. Begitu
tiba semuanya sudah berubah begitu cepatnya, jalan sudah diperbaiki, ada
beberapa rumah baru dibagian atas pantai, dan juga suara petugas pengelola yang
keluar nyaring dari speaker sedang memberi instruksi untuk pengunjung yang akan
melakukan snorkeling. Tidak lama disini kemudian kami memilih pantai Kukup
untuk makan siang sebelum menuju stasiun untuk balik ke Jakarta.
Mini Grand Canyon Bogor, Leuwi Liyet
By argimargie
Posted at Juli 22, 2015
Adventure
No comments
Ngalong kali ini ngga terlalu jauh dari Jakarta, setelah nyari-nyari info lewat internet dan lewat informasi temen secara dadakan. Akhirnya saya mengajak teman-teman yang memang siap berangkat secara dadakan ini ke mini grand canyon Leuwi Liyet yang ada daerah Sentul. Beningnya air disana yang bikin nafsu saya buat nyeburrrr tergugah,,,,seehh. Gak nyangka gak taunya malah ada sepuluh orang yang mau ikut, padahal ngajakinnya jam dua malem terus jalan startnya abis subuh. Sambil menunggu waktunya berangkat langsung aja mereka menyiapkan motor buat diparkir didepan tongkrongan, yang paling ribet yaa rombongan 3 motor vespa yang kudu dotak-atik ini itu dulu biar gak sering mati dijalan. Selesai subuh langsung lah kita mutusin jadi berangkat, mana keadaan belum pada tidur sebagian..emang dasarnya pada *koplaaaaak . Rutenya dibikin berbeda kalo buat jalan sekarang, yang biasanya ke leuwinanggung kaya biasanya kalo ke puncak. Sekarang kita lewat daerah Jonggol yang saya sendiri belum pernah lewat sana seumur hidup. Alhasil di tengah perjalanan banyak kagetnya karena hampir 70% lewat jalur ini jalannya pada rusak. Target 2 jam udah sampe lokasi pun akhirnya ketunda sampe 3 jam lebih, ditambah lagi banyak razia polisi disepanjang jalan.
Lewatin plang yang bacaannya leuwi liyet arah kanan, sampe juga di mini grand canyon nya Bogor ini. Tapi sayang sekali air biru kehijau2an yang bersih itu sudah berubah menjadi keruh lantaran hujan yang mengguyur daerah Karang Tengah ini berhari-hari lalu...*nyiyiiiiirrrrrrr. Yaa mau gimana lagi yang begini itu tetep harus dinikmatin, lanjut lepas celana dan beresin barang-barang dilanjut langsung nyemplung ke airnya. Rasa dinginnya langsung bikin seger badan yang tadi gerah selama diperjalanan. Disana juga ada satu rombongan dari jakarta yang lebih dulu sampe dan ngasih tau ke kita kalo dibalik bebatuan tempat saya dan temen-temen berendam ada satu curug lagi. Tapi buat menuju kesana harus menaiki bukit kecil yang ada disamping sisi aliran leuwi ini. Sekitar lima menit lewat bukit kecil ini ternyata baru tahu kalo ini yang dibilang leuwi liyetnya. Aliran air dari muara yang diapit dua bebatuan besar yang membuatnya enak dipandang "tapi kalo keadaannya bening". Lumayan lama kita menghabiskan waktu disini apalgi lompat dari batu kali yang gede-gede itu.
Detail Lokasi : Leuwi Liyet, Desa Karang Tengah, Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Eksplorasi 21 Pantai Gunung Kidul Handayani
By argimargie
Posted at Juni 23, 2015
Adventure
No comments
Ini adalah rangkaian perjalanan yang dibilang cukup melelahkan
tapi terbayar tuntas oleh keindahan yang didapat dari alam di selatan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Dimana saya dan lima orang teman memiliki rencana
menaklukan 21 pantai yang terletak di Kabupaten Gunung Kidul dalam waktu dua
hari. Yang mana disini adalah kawasan geopark yang terkenal dengan sebutan
Gunung Sewu Geopark yang kabarnya sudah diakui secara global oleh UNESCO.
Singkat cerita, setibanya di Stasiun Lempuyangan pagi hari dilanjutkan sarapan
di seberang stasiun, tiga motor matic sewaan yang sudah direncanakan oleh salah
satu teman datang. Transaksi tukar kunci dan stnk dengan kartu mahasiswa sampe
kartu tanda penduduk kami pun terjadi, disini saya baru tau ternyata salah satu
rental ini bagus juga cara kerjanya disamping harga sewa motornya yang murah.
Waktu itu sekitar jam 10.00 pagi setelah mengisi bahan bakar, kami
mulai menarik gas motor matic sewaan kami menuju tujuan pertama yaitu pantai
Ngobaran. Dua jam perjalanan yang harus ditempuh saat kami sadari telah sampai
di pintu masuk tujuan yang pertama ini. Begitu masuk pantai ini rasanya seperti
berada disalah satu pantai di pulau Bali karena ukiran-ukiran batu dan ada
beberapa Pura yang menurut saya belum lama dibangun. Pantai ini memiliki area
berpasir putih namun tidak luas yang berada dibawah bebatuan keras ini. Dan
disebelah kanan Pantai Ngoobaran terdapat satu pantai yang bernama pantai
Nguyahan, kami harus berjalan kaki sekitar 200m kedataran yang lebih rendah
untuk mencapai kesana.
Perjalanan
dilanjutkan dengan tujuan pantai yang ketiga, pantainya para nelayan yaitu
Pantai Ngrenehan. Jarak dari Ngobaran-Ngrenehan tidak begitu jauh, hanya
memakan waktu 15 menit. Karena namanya yang terkenal pantai nelayan, dibagian
depan saat kami akan memarkirkan motor terdapat pasar yang menjual ikan-ikan
segar hasil tangkapan nelayan. Inilah pantai yang membuat kami segar kembali
karena kami bisa berenang disini, wilayahnya yang hampir tertutup oleh
batuan-batuan besar menjadikan pantai ini memiliki arus air yang tenang dan
juga airnya jernih sekali.
Menjelang
sore kita lanjut tancap gas ke tujuan berikutnya, pantai yang sudah jadi
trademarknya Gunung Kidul yang terkenal itu pantai Baron. Disini kami sempatkan
bermain bola dengan menggunakan bola plastik diarea pantainya. Kemudian
dilanjutkan kembali ke Pantai Kukup, dimana disana kami berencana bermalam kami
dihari pertama. Keesokan paginya teman-teman saya rupanya sudah ada ditebing pantai Kukup sambil jeprat-jepret kamera disaat matahari terbit.
Sarapan
pagi selesai, lanjutlah lagi perjalanan touring kami menggunakan motor berplat
AB melalui jalan raya yang salah satu dari kami belum pernah lewati. Pemerintah
Daerah nampaknya sangat peduli akan fasilitas infrastruktur untuk menunjang
kawasan pariwisatanya, jalan-jalan yang menghubungkan daerah disini sangat
mulus. Itu jadi salah satu yang saya nikmati selama motor yang saya bawa
melaju. Tibalah di tujuan pertama dihari kedua yaitu pantai Sepanjang berlanjut
pantai Watukodok – Drini – Slili – Sadranan. Lalu salah satu yang pantai yang
juga terkenal pantai Krakal, ada satu momen yang tak bisa dilupakan di Krakal
saat saya melihat pisang berwarna kuning matang yang dipajang diwarung buah
dekat pintu masuk. Entah kenapa saya bernafsu sekali membelinya dan tawar
menawar sudah terjadi dengan saya mengeluarkan Rp 15.000,- untuk satu tandan
pisang itu. Dan begitu kami lanjut lagi ke pantai berikutnya sambil melambatkan
laju motor, sambil memakan pisang yang barusan dibeli ternyata pisangnya masih
mentah. Sungguh terlalu saya tertipu oleh penampilan mulus sebuah pisang.
Pantai
selanjutnya adalah pantai Ngandong – Sundak – Somandeng – Indrayanti. Karena
banyaknya tujuan yang harus kami capai, saat tiba ditujuan kami hanya sebentar
mengelilingi wilayah pantai itu dan take moment lalu pergi lagi. Sehingga
banyak yang terlupa mendeskripsikan dengan detail pantai yang saya datangi satu
persatu. Tapi untuk Indrayanti, pantai ini adalah yang paling ramai dikunjungi
wisatawan. Akses menuju kesini sudah terjadi kemacetan sampai 1-2 kilometer
pada saat itu. Pantai ini juga memiliki garis pantai paling panjang diantara
pantai-pantai yang ada disekitar Gunung Kidul juga batuan-batuan karang besar
yang ada dikanan setelah pintu masuk. Belum selesai, kami berangkat lagi ke
pantai berikutnya yang dimana menjadi tempat bermalam dihari kedua. Pantai yang
terkenal karena pohon durasnya itu, yaa Poktunggal. Menurut cerita masyarakat,
dulunya ada seorang kakek yang bernama ‘Mbah Pok’ yang tinggal seorang diri
diwilayah pantai. Sehari-harinya ia bertani dan menggembalakan sapi disana,
ketika Mbah Pok pergi mengurus sawahnya dia selalu mengikatkan ikatan sapi di
pohon duras itu. Kurang lebih itu yang menjadi asal-usul nama Poktunggal yang
saya dapat dari hasil obrolan dengan Ibu dan Bapak (saya lupa namanya) yang
punya warung dekat parkir kendaraan. Saat kami membuat api unggun didepan tenda kami bertemu dengan dua orang pemuda yang ingin meminjam senter, sambil berkenalan ternyata dua orang ini dari Bandung yang datang kesini dengan menggunakan motor vespa. Malam itu dia bahkan cerita bakal ke Lombok dengan membawa vespa dua bulan lagi katanya, gilaaa..... ini kayaknya yang dibilang adventurer.
Keesokan
paginya kami berencana ke pantai Jogan, tapi ditengah jalan kami menemui plang
kecil dari papan bertuliskan pantai Seruni yang dituliskan oleh cat seadanya.
Trus terlihat jalannya pun masih turunan curam ditambah bebatuan yang
terlihat tidak cukup layak untuk dilewati sepeda motor. Namun kami malah
memutuskan untuk turun melihat sebentar seperti apa pantainya, well ternyata
pantai ini masih perawan. Luar biasa nikmatnya saat saya tahu tidak ada
seorangpun kecuali kami yang datang ke pantai saat itu. Seakan ini milik
pribadi saya, semuanya masih terlihat alami dan bentuk pantainya termasuk salah
satu yang unik dari Gunung Kidul.
Waktu
yang tak terasa karena mulai memasuki siang hari sedangkan kereta kami untuk
pulang terjadwal sore hari. Kami menuju pantai Jogan yang memakan waktu sekitar
setengah jam untuk kesana. Lalu ada pantai yang baru dibuka, pantai Nglambor.
Akses masuk pantai ini juga bisa dibilang sebelas duabelas dengan Seruni tapi
pantainya super exotic dengan banyaknya burung camar yang terbang mengelilingi
sebuah pulau kecil diseberang pantai. Ditambah arus ombak yang tenang karena
sudah dulu pecah oleh batuan karang diantara pantai dan pulau kecil, saya
membayangkan snorkeling disana dan suasana pun sepi tidak ada orang. Sayangnya
kami bermasalah dengan waktu akhirnya kami putuskan untuk meninggalkan Nglambor
menuju Siung. Seharusnya ada satu lagi pantai Wediombo, yang membutuhkan waktu
setengah jam lagi dari Siung tapi kami gagal karena waktu sudah menunjukkan
pukul 01.00 sedangkan kereta jam 04.00. Jadi dari target 21 pantai dalam waktu
dua hari disana gagal dipenuhi dengan kami hanya mampu meraup 20 pantai.
Walaupun ngga tercapai tapi Alhamdulillah semua pulang dengan selamat sampai
tujuan.
About The Author
Argi Author
Blog ini berisi semua hal yang terlintas dari isi kepala, lalu dituangkan dalam penulisan. IMHO, hobi yang paling murah didunia ini adalah menulis dan membaca. Terima kasih sudah mampir & semoga ada manfaat...