Ciletuh Geopark : Tak Cukup Satu Hari Disini

By argimargie   Posted at  Desember 30, 2015   Adventure 2 comments
Teluk Ciletuh
Akhir tahun masehi ini ditutup dengan tercapainya satu target perjalanan ke kawasan yang memiliki batuan tertua di pulau Jawa. Hampir kurang lebih setahun terakhir sedikit demi sedikit mengikuti perkembangan soal taman bumi ini lewat traveler yang memposting perjalanan mereka diblognya, weekend kemarin kesampaian juga kesini. Yaap akhirnya saya berhasil mencapai Ciletuh Geopark yang berada di daerah Desa Ciwaru, Tamanjaya, Sukabumi.

Berbekal peta (denah) yang dikirim oleh salah satu  pengurus PAPSI (Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi) lewat messenger minggu lalu dan juga GPS dari google maps saya mulai perjalanan siang hari pukul 11.00 WIB start via Cikidang, Sukabumi. Sebelumnya saat malam kami diharuskan mampir terlebih dahulu ke villa milik tetangga yang berada di Cikidang, jadi kami bermalam disana. Oh iya, rencana ke Ciletuh ini awalnya saya hanya mengajak 2-3 orang karena alasan trek/jalan menuju kesana cukup tidak ramah sepengetahuan saya. Tapi semua berubah karena jumlah yang berangkat menjadi 13 orang di hari terakhir dengan membawa dua mobil pribadi hasil sewaan.

Karena belum ada satupun dari kami yang pernah ke Ciletuh, saya membuka jalan didepan sambil lihat denah dan otak-atik maps. Perkiraan waktu yang ditampilkan di maps Cikidang-Ciletuh sekitar tiga jam, jadi saya yakin jam 2-3 siang sudah sampai di titik pertama, yaitu secretariat PAPSI di dekat Balai Desa Tamanjaya. Ujian pertama datang saat kami disasarkan oleh rute yang diberikan map, saya tersesat masih dikawasan Pelabuhan Ratu yang disana terdapat kuil Dewi Kuan Im. Rute yang diberikan map ternyata untuk sepeda motor dan lebih tepatnya motor trail. Alhasil kami putar arah lagi dan melanjutkan perjalanan. Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam setengah empat sore saat kami beristirahat sejenak di Desa Mekarjaya. Lanjut sekitar 30 menit kamipun sampai di Sekret PAPSI dan bertemu Kang Taufik (yang saya hubungi sebelumnya), kami bertanya-tanya soal penginapan, dll. Kemudian dia mengeluarkan buku tamu yang kami diminta mengisinya untuk keperluan data pengunjung. Ternyata hasil bincang-bincang kami soal penginapan yang berada di dekat pantai Palangpang itu jaraknya masih 17 km lagi dari titik kami bertemu kang Taufik, katanya butuh satu jam untuk mencapai homestay dibawah karena jalan yang bakal dilewati banyak yang rusak.

Panenjoan


Inilah bukit yang jadi salah satu spot andalan kawasan ini, letaknya hanya 500m dari sekret PAPSI dan  posisinya ada dikanan jalan. Berasal dari bahasa Sunda yaitu tenjo/nenjo yang berarti melihat atau kalau diartikan seluruhnya menjadi “tempat melihat”. Menurut saya ini benar-benar spektakuler karena melihat desa yang tenang dan asri dari ketinggian dititik itu sungguh luar biasa rasanya. Dari situ kita bisa melihat atap-atap genting rumah desa Ciwaru yang berwarna coklat kemerahan yang saling berhimpitan, juga kelihatan pantai palangpang dan puncak darma dari kejauhan. Disini tidak ada biaya retribusi untuk masuk, tapi hanya biaya parkir motor Rp 2000,- dan mobil Rp 5000,- yang dibayar saat kita akan keluar melewati gerbang.

Pantai Palangpang
Benar saja akses jalan Tamanjaya-Ciwaru ini banyak mengalami kerusakan parah, dibeberapa jembatan kecil banyak yang jebol jembatannya sehingga ditambal dengan balok-balok kayu besar untuk menutupi area yang jebol itu. Persis saat adzan maghrib berkumandang kami tiba di penginapan yang dimiliki oleh Pak Ade (setelah mendapat rekomendasi dari Kang Taufik) orang asli pribumi disini. Letaknya di Jalan Cimarinjung, jika diukur perimeternya sekitar 3 kilometer ke Pantai Palangpang dan 2,5 kilometer ke Curug Cimarinjung. Penginapan yang kami sewa terbilang murah yaitu Rp 300.000/malam, apalagi ini rumah pribadi yang disewakan. Memiliki dua kamar dan satu kamar mandi plus ruang tengah yang luas ditambah dapur yang sudah siap dengan peralatannya. Sebelumnya memang saya meminta seorang guide agar bisa menemani saya dan teman-teman selama mengelilingi objek wisata yang ada disini. Rupanya Pak Ade menunjuk adiknya yang bernama Syarif untuk menjadi guide kami. Orangya ramah dan santun, saat saya selesai mandi dia sudah menunggu saya di teras homestay yang kami sewa malam itu. Sambil membawa kopi dan menghisap rokoknya dia langsung mengajak saya dan beberapa teman ngobrol-ngobrol soal asal usul Ciletuh, yang katanya baru benar-benar dimulai banyak pengunjung kurang lebih dua tahun terakhir. Itu didapati setelah ramainya berita tentang empat orang peneliti dari Jerman dan negara lain melakukan penelitian soal batuan yang muncul ke permukaan yang terdapat di balik tiga bukit yang menutupi desa Cimarinjung berdekatan dengan Pulau Kunti. Agar bisa menuju kesana dia memberi tahu menggunakan perahu nelayan yang biayanya Rp 100.000,-/10 orang, biaya yang menurut saya masih bisa dibilang murah. Tapi karena waktu yang kami punya tinggal setengah hari, rasanya tidak mungkin saya bisa mencapai pusat batuan itu.
Jam 21.00 WIB saya memutuskan untuk keliling hingga ke pantai bersama dua orang teman saya dan aa syarif menjadi pemandu kami. Dia cukup kaget dimana saat saya bilang “jalan kaki aja yaa a”, karena bokong saya sudah terasa semakin tepos akibat perjalanan naik turun gunung dan bukit selama dimobil. Dan dia pun menyanggupi keliling berempat menuju pantai Palangpang. Rupanya sekarang lagi musimnya “musim barat” kata aa syarif kalo ngga salah, jadinya sampah-sampah ranting, dahan pohon sampai plastik bertebaran di pesisir pantai.

Puncak Darma
Sesuai saran A’ Syarif untuk menikmati sunrise di Puncak Darma diharuskan berangkat pukul 04.30 pagi, tapi karena kesiangan dan gara-gara rebutan kamar mandi kamipun baru start jam 05.10. Berarti gagal sudah rencana melihat matahari terbit dari puncak darma yang katanya amazing. Kami trekking melewati sawah dengan hamparan padi dan mulai melewati jalan yang mendaki tepat didepan gapura Curug Cimarinjung, yang rencana kami datangi setelah turun dari puncak nanti. Jalur menuju puncak darma lumayan membuat basah kaos yang saya pakai, ternyata untuk sampai ke puncak kita harus melewati dua bukit yang ditengah-tengah perjalanan terdapat sebuah jembatan dan apabila kita menengok kekanan ada sebuah curug juga bila menengok kekiri ada curug lagi. Terlihat bertingkat-tingkat kalo dari kejauhan. Sampailah saya di puncak darma ±500 mdpl, seperti yang terlihat di mesin pencarian apabila menuliskan keyword tentang daerah ini. Tentang puncak sebuah bukit dimana dari situ kita bisa melihat dengan jelas bentuk lengkung Teluk Ciletuh yang seperti tapal kuda. Asal usulnya dinamakan puncak darma karena dulunya yang mempunyai tanah itu namanya adalah darma sebelum berpindah tangan pemiliknya. Disini setiap pengunjung diwajibkan membayar biaya kebersihan dari sampah-sampah hasil bawaan pengunjung Rp 3.000,-/orang. Sambil menikmati panorama yang istimewa disekeliling puncak ini, A’ Syarof menceritakan ada sejarah atau mungkin mitos bahwa ada seekor kuda (semacam siluman) yang tinggal dua bukit terdekat yang ada diseberang saya. Dan yang sudah kejadian apabila ada warga yang memelihara kuda pasti peliharaannya itu mati, konon katanya itulah yang diceritakan A’ Syarif. Huwallahu a’lam bisshowab…

Curug Cimarinjung
Merasa cukup berada dipuncak bukit kami memutuskan untuk turun melanjutkan trekking ke Curug Cimarinjung. Disepanjang perjalanan saat turun kami cukup sering bertemu orang yang mengendarai sepeda motor bebek dari yang arahnya hendak naik maupun turun, saya sendiri lumayan gak nyangka juga karena jalan bebatuan yang tidak rata dan pada titik tertentu jalannya pun terjal sampai diatas 45°. Sebelum memasuki area curug dibagian depan yaitu gapura pengunjung harus membayar Rp 3.000,-/orang untuk biaya masuk dan kami mendapat lembaran tiket yang diberi oleh seorang penjaganya. Dari kejauhan saja suara bising air sudah terdengar nyaring apalagi sekarang bulan desember ini sudah masuk musim hujan, pasti debit air yang turun sangat deras. Yaa curug ini memang benar curug yang indah, dengan volume air derasnya dikelilingi batuan-batuan cadas menambah segar suasana orang yang datang kesana. Dari jarak 20 meter pakaian saya pun sudah kuyup terkena cipratan air curug ini, cipratannya seperti gerimis tapi deras sekali. Tak lama disini dan kamipun harus balik lagi ke homestay untuk menyiapkan sarapan dan bersiap-siap kembali ke Jakarta. Seandainya bukan karena waktu yang mepet mungkin saya bisa eksplore lagi spot-spot yang luar biasa disini seperti Curug Awang, Curug Sodong, Karang Daeu dan pastinya batuan yang ada dipermukaan tepi laut Desa Cikadal. So far,,, saya sangat menikmati eksplorasi di kawasan geopark ini dan berencana balik lagi tahun depan disaat ada waktu libur di weekend yang panjang. Info yang saya terima bahwa Ciletuh Geopark akan diajukan agar menjadi Geopark yang berskala internasional oleh Pengprov Jawa Barat, maka salah satu perbaikan akan diadakan yaitu perbaikan jalan dari gerbang masuk yang ada di Desa Tamanjaya sampai ke bawah area Desa Ciwaru yang katanya akan selesai dibulan Maret atau April 2016.

Untuk mencapai Ciletuh kira-kira dibutuhkan 7-8 jam perjalanan dari Jakarta melalui rute Jakarta-Ciawi-Cibadak-Bagbagan-Paltilu-Ciemas-Tamanjaya.



Connected

© 2009-2023 In My Weird Brain. WP Mythemeshop converted by Bloggertheme9.
Powered by Blogger.
back to top