Teluk Ciletuh |
Akhir tahun masehi ini ditutup dengan tercapainya satu
target perjalanan ke kawasan yang memiliki batuan tertua di pulau Jawa. Hampir
kurang lebih setahun terakhir sedikit demi sedikit mengikuti perkembangan soal
taman bumi ini lewat traveler yang memposting perjalanan mereka diblognya,
weekend kemarin kesampaian juga kesini. Yaap akhirnya saya berhasil mencapai
Ciletuh Geopark yang berada di daerah Desa Ciwaru, Tamanjaya, Sukabumi.
Berbekal peta (denah) yang dikirim oleh salah satu pengurus PAPSI (Paguyuban Alam Pakidulan
Sukabumi) lewat messenger minggu lalu dan juga GPS dari google maps saya mulai
perjalanan siang hari pukul 11.00 WIB start via Cikidang, Sukabumi. Sebelumnya
saat malam kami diharuskan mampir terlebih dahulu ke villa milik tetangga yang
berada di Cikidang, jadi kami bermalam disana. Oh iya, rencana ke Ciletuh ini
awalnya saya hanya mengajak 2-3 orang karena alasan trek/jalan menuju kesana
cukup tidak ramah sepengetahuan saya. Tapi semua berubah karena jumlah yang
berangkat menjadi 13 orang di hari terakhir dengan membawa dua mobil pribadi
hasil sewaan.
Karena belum ada satupun dari kami yang pernah ke Ciletuh,
saya membuka jalan didepan sambil lihat denah dan otak-atik maps. Perkiraan
waktu yang ditampilkan di maps Cikidang-Ciletuh sekitar tiga jam, jadi saya
yakin jam 2-3 siang sudah sampai di titik pertama, yaitu secretariat PAPSI di
dekat Balai Desa Tamanjaya. Ujian pertama datang saat kami disasarkan oleh rute
yang diberikan map, saya tersesat masih dikawasan Pelabuhan Ratu yang disana
terdapat kuil Dewi Kuan Im. Rute yang diberikan map ternyata untuk sepeda motor
dan lebih tepatnya motor trail. Alhasil kami putar arah lagi dan melanjutkan
perjalanan. Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam setengah empat sore saat
kami beristirahat sejenak di Desa Mekarjaya. Lanjut sekitar 30 menit kamipun
sampai di Sekret PAPSI dan bertemu Kang Taufik (yang saya hubungi sebelumnya),
kami bertanya-tanya soal penginapan, dll. Kemudian dia mengeluarkan buku tamu
yang kami diminta mengisinya untuk keperluan data pengunjung. Ternyata hasil
bincang-bincang kami soal penginapan yang berada di dekat pantai Palangpang itu
jaraknya masih 17 km lagi dari titik kami bertemu kang Taufik, katanya butuh
satu jam untuk mencapai homestay dibawah karena jalan yang bakal dilewati
banyak yang rusak.
Panenjoan
Inilah bukit yang jadi salah satu spot andalan kawasan ini,
letaknya hanya 500m dari sekret PAPSI dan
posisinya ada dikanan jalan. Berasal dari bahasa Sunda yaitu tenjo/nenjo
yang berarti melihat atau kalau diartikan seluruhnya menjadi “tempat melihat”. Menurut
saya ini benar-benar spektakuler karena melihat desa yang tenang dan asri dari
ketinggian dititik itu sungguh luar biasa rasanya. Dari situ kita bisa melihat
atap-atap genting rumah desa Ciwaru yang berwarna coklat kemerahan yang saling
berhimpitan, juga kelihatan pantai palangpang dan puncak darma dari kejauhan.
Disini tidak ada biaya retribusi untuk masuk, tapi hanya biaya parkir motor Rp
2000,- dan mobil Rp 5000,- yang dibayar saat kita akan keluar melewati gerbang.
Pantai Palangpang
Benar saja akses jalan Tamanjaya-Ciwaru ini banyak mengalami
kerusakan parah, dibeberapa jembatan kecil banyak yang jebol jembatannya
sehingga ditambal dengan balok-balok kayu besar untuk menutupi area yang jebol
itu. Persis saat adzan maghrib berkumandang kami tiba di penginapan yang
dimiliki oleh Pak Ade (setelah mendapat rekomendasi dari Kang Taufik) orang
asli pribumi disini. Letaknya di Jalan Cimarinjung, jika diukur perimeternya sekitar
3 kilometer ke Pantai Palangpang dan 2,5 kilometer ke Curug Cimarinjung. Penginapan
yang kami sewa terbilang murah yaitu Rp 300.000/malam, apalagi ini rumah
pribadi yang disewakan. Memiliki dua kamar dan satu kamar mandi plus ruang
tengah yang luas ditambah dapur yang sudah siap dengan peralatannya. Sebelumnya
memang saya meminta seorang guide agar bisa menemani saya dan teman-teman
selama mengelilingi objek wisata yang ada disini. Rupanya Pak Ade menunjuk adiknya
yang bernama Syarif untuk menjadi guide kami. Orangya ramah dan santun, saat
saya selesai mandi dia sudah menunggu saya di teras homestay yang kami sewa
malam itu. Sambil membawa kopi dan menghisap rokoknya dia langsung mengajak
saya dan beberapa teman ngobrol-ngobrol soal asal usul Ciletuh, yang katanya
baru benar-benar dimulai banyak pengunjung kurang lebih dua tahun terakhir. Itu
didapati setelah ramainya berita tentang empat orang peneliti dari Jerman dan
negara lain melakukan penelitian soal batuan yang muncul ke permukaan yang
terdapat di balik tiga bukit yang menutupi desa Cimarinjung berdekatan dengan
Pulau Kunti. Agar bisa menuju kesana dia memberi tahu menggunakan perahu
nelayan yang biayanya Rp 100.000,-/10 orang, biaya yang menurut saya masih bisa
dibilang murah. Tapi karena waktu yang kami punya tinggal setengah hari,
rasanya tidak mungkin saya bisa mencapai pusat batuan itu.
Jam 21.00 WIB saya memutuskan untuk keliling hingga ke
pantai bersama dua orang teman saya dan aa syarif menjadi pemandu kami. Dia
cukup kaget dimana saat saya bilang “jalan kaki aja yaa a”, karena bokong saya
sudah terasa semakin tepos akibat perjalanan naik turun gunung dan bukit selama
dimobil. Dan dia pun menyanggupi keliling berempat menuju pantai Palangpang.
Rupanya sekarang lagi musimnya “musim barat” kata aa syarif kalo ngga salah,
jadinya sampah-sampah ranting, dahan pohon sampai plastik bertebaran di pesisir
pantai.
Puncak Darma
Sesuai saran A’ Syarif untuk menikmati sunrise di Puncak
Darma diharuskan berangkat pukul 04.30 pagi, tapi karena kesiangan dan
gara-gara rebutan kamar mandi kamipun baru start jam 05.10. Berarti gagal sudah
rencana melihat matahari terbit dari puncak darma yang katanya amazing. Kami
trekking melewati sawah dengan hamparan padi dan mulai melewati jalan yang
mendaki tepat didepan gapura Curug Cimarinjung, yang rencana kami datangi
setelah turun dari puncak nanti. Jalur menuju puncak darma lumayan membuat
basah kaos yang saya pakai, ternyata untuk sampai ke puncak kita harus melewati
dua bukit yang ditengah-tengah perjalanan terdapat sebuah jembatan dan apabila
kita menengok kekanan ada sebuah curug juga bila menengok kekiri ada curug
lagi. Terlihat bertingkat-tingkat kalo dari kejauhan. Sampailah saya di puncak
darma ±500
mdpl, seperti yang terlihat di mesin pencarian apabila menuliskan keyword
tentang daerah ini. Tentang puncak sebuah bukit dimana dari situ kita bisa
melihat dengan jelas bentuk lengkung Teluk Ciletuh yang seperti tapal kuda.
Asal usulnya dinamakan puncak darma karena dulunya yang mempunyai tanah itu
namanya adalah darma sebelum berpindah tangan pemiliknya. Disini setiap
pengunjung diwajibkan membayar biaya kebersihan dari sampah-sampah hasil bawaan
pengunjung Rp 3.000,-/orang. Sambil menikmati panorama yang istimewa
disekeliling puncak ini, A’ Syarof menceritakan ada sejarah atau mungkin mitos
bahwa ada seekor kuda (semacam siluman) yang tinggal dua bukit terdekat yang
ada diseberang saya. Dan yang sudah kejadian apabila ada warga yang memelihara
kuda pasti peliharaannya itu mati, konon katanya itulah yang diceritakan A’
Syarif. Huwallahu a’lam bisshowab…
Curug Cimarinjung
Merasa cukup berada dipuncak bukit kami memutuskan untuk
turun melanjutkan trekking ke Curug Cimarinjung. Disepanjang perjalanan saat
turun kami cukup sering bertemu orang yang mengendarai sepeda motor bebek dari
yang arahnya hendak naik maupun turun, saya sendiri lumayan gak nyangka juga
karena jalan bebatuan yang tidak rata dan pada titik tertentu jalannya pun terjal
sampai diatas 45°. Sebelum memasuki area curug dibagian depan
yaitu gapura pengunjung harus membayar Rp 3.000,-/orang untuk biaya masuk dan
kami mendapat lembaran tiket yang diberi oleh seorang penjaganya. Dari kejauhan
saja suara bising air sudah terdengar nyaring apalagi sekarang bulan desember
ini sudah masuk musim hujan, pasti debit air yang turun sangat deras. Yaa curug
ini memang benar curug yang indah, dengan volume air derasnya dikelilingi
batuan-batuan cadas menambah segar suasana orang yang datang kesana. Dari jarak
20 meter pakaian saya pun sudah kuyup terkena cipratan air curug ini,
cipratannya seperti gerimis tapi deras sekali. Tak lama disini dan kamipun
harus balik lagi ke homestay untuk menyiapkan sarapan dan bersiap-siap kembali
ke Jakarta. Seandainya bukan karena waktu yang mepet mungkin saya bisa eksplore
lagi spot-spot yang luar biasa disini seperti Curug Awang, Curug Sodong, Karang
Daeu dan pastinya batuan yang ada dipermukaan tepi laut Desa Cikadal. So far,,,
saya sangat menikmati eksplorasi di kawasan geopark ini dan berencana balik
lagi tahun depan disaat ada waktu libur di weekend yang panjang. Info yang saya
terima bahwa Ciletuh Geopark akan diajukan agar menjadi Geopark yang berskala
internasional oleh Pengprov Jawa Barat, maka salah satu perbaikan akan diadakan
yaitu perbaikan jalan dari gerbang masuk yang ada di Desa Tamanjaya sampai ke
bawah area Desa Ciwaru yang katanya akan selesai dibulan Maret atau April 2016.
Untuk mencapai
Ciletuh kira-kira dibutuhkan 7-8 jam perjalanan dari Jakarta melalui rute
Jakarta-Ciawi-Cibadak-Bagbagan-Paltilu-Ciemas-Tamanjaya.